Seni Tas Aceh dan Kisah Inspiratif Pembuatnya


Oleh : Hamzah Arfah

(Tulisan ini diikutsertakan dalam Festival Literasi Siswa Indonesia Tahun 2023)

Seni adalah keindahan yang dapat dinikmati oleh siapa pun. Kalimat tersebut mungkin terlintas di benakku saat melihat ukiran, pola, dan corak yang terdapat di sebuah tas tangan yang dipajang di dalam vitrin di sebuah toko di pinggir jalan. Dari dalam toko terdengar suara mesin jahit yang sedang beroperasi dan perbincangan antara pembeli dengan karyawan.

Tahira Souvenir, toko yang terletak di Jl. Medan - Banda Aceh No. Desa, Ulee Madon, Kec. Muara Batu, Kabupaten Aceh Utara, Aceh, merupakan rumah bagi kerajinan tas Aceh sekaligus pusat produksi dan pemasaran tas Aceh di daerah Ulee Madon. Inilah tujuan utama saya, teman-teman, dan guru pendamping dari SMAN Modal Bangsa Arun dalam rangka Projek P5 (Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila) tentang kearifan lokal tas Aceh. Di dalam toko tersebut terlihat berbagai jenis kerajinan Aceh, mulai dari tas, dompet, kotak pensil, jilbab, selendang, hingga produk perawatan kulit.

Dari pintu depan, terlihat seorang pria paruh baya yang mengenakan kacamata, berdiri di depan toko sambil menyambut kami. Sanusi M. Jamil, atau akrab dipanggil Pak Sanusi, adalah pria kelahiran Ulee Madon. Ia merupakan pemilik sekaligus pendiri dari toko Tahira Souvenir. Pak Sanusi juga merupakan seorang pengrajin tas Aceh yang menggunakan teknik pembuatan sepatu kulit dari Cibaduyut, Bandung.

Perjalanan Penuh Rintangan

Setelah menyambut kami dengan semangat, Pak Sanusi mulai menceritakan perjalanan hidupnya. Untuk mencapai kesuksesan seperti sekarang, Pak Sanusi harus menghadapi banyak rintangan. Ia terlahir dari keluarga miskin, sehingga harus berusaha keras untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Beliau bersekolah di STM Negeri Bireuen jurusan Teknik Sipil, jurusan yang tidak ada hubungan dengan profesi dirinya sekarang.

Pada tahun 1986, Pak Sanusi tamat sekolah dan berangkat ke Bandung untuk melanjutkan studinya di ITB Bandung, namun masalah ekonomi keluarga membuatnya terpaksa tidak melanjutkan studi tersebut. Di Bandung, ia tinggal di rumah pamannya yang merupakan saudara dari neneknya.

Saat tinggal di Bandung, istri dari paman Pak Sanusi sering mengajaknya untuk berjalan-jalan. Pada suatu hari, Pak Sanusi melihat para pengrajin sepatu yang sedang membuat sepatu secara tradisional. Hal ini menarik minatnya dan Pak Sanusi pun mulai tertarik dengan teknik pembuatan sepatu tersebut. Timbul pikiran untuk membawa teknik pembuatan sepatu ini ke kampung halamannya di Ulee Madon.

Selama mendirikan Thahira Souvenir, Pak Sanusi mengalami tiga kegagalan. Bahkan kedua orang tuanya sempat melarang dirinya untuk melanjutkan usahanya karena situasi perekonomian keluarga yang buruk, dan Pak Sanusi juga menggunakan modal sendiri dalam membangun Thahira Souvenir.

Hal yang membuat saya salut adalah tujuan awal Pak Sanusi mendirikan Thahira Souvenir, yaitu membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat sekitar. Saat itu, banyak pemuda di daerah Ulee Madon menganggur karena sedikitnya lapangan kerja. Keadaan yang demikian membuat Pak Sanusi semangat dan pantang menyerah dalam mendirikan Thahira Souvenir, agar kampung halamannya maju.

Barangkali karena itu Pak Sanusi tidak pernah menyerah. Setelah gagal, ia melakukan riset selama satu tahun untuk mengembangkan pola tas yang dimodifikasi sendiri, membuat pola yang bervariasi, mensimetriskan pola, hingga mencocokkan pola dengan bentuk tas yang dibuat. Seperti kata pepatah, "usaha tidak menghianati hasil". Akhirnya, pada akhir tahun 1989, Pak Sanusi mencapai keberhasilan.

Tidak terlepas dari masa lalu, rintangan juga menghampiri pak Sanusi saat menghadapi masa pandemi COVID-19. Permintaan tas Aceh merosot drastis dan berdampak pada pendapatan Pak Sanusi. "Pada masa sebelum pandemi, pendapatan yang saya dapat bisa mencapai 80 juta atau bahkan lebih dari 100 juta. Namun, selama masa pandemi, hanya mendapatkan sekitar 30 jutaan," ujar Pak Sanusi.

Namun Pak Sanusi tidak berhenti mencari cara. Dibantu oleh keempat anaknya, Pak Sanusi membenahi cara berjualan. Anak perempuannya membantu Pak Sanusi dalam berjualan di media sosial dan menarik perhatian pelanggan. Banyak yang memesan tas kerajinan dari Pak Sanusi. Anak pertama Pak Sanusi, yakni seorang laki-laki, membantu dalam membuat pola motif untuk tas dan kerajinan lainnya, sementara anak-anak pak Sanusi yang lain juga membantu dalam proses pembuatan kerajinan.

Mengenal Tas Aceh Lebih Dekat

Tas Aceh yang dibuat oleh Pak Sanusi menggunakan kain terpal yang diimpor dari luar negeri, seperti dari Thailand. Aksesorisnya diimpor dari Hong Kong dan China, begitu juga dengan mesin yang harus dipesan dari China atau Jepang. Pak Sanusi memilih bahan baku dari luar negeri karena bahan baku dan mesin yang diproduksi di Indonesia dianggap kurang berkualitas dan mudah rusak. Hal ini penting agar tas yang diproduksi memiliki kualitas dan daya tahan yang baik.

Proses pembuatan tas Aceh terdiri dari tiga tahap. Tahap pertama adalah mengukur kain terpal dan memotongnya sesuai dengan desain tas yang diinginkan. Tahap kedua, kain tersebut dilukis dengan kapur untuk membentuk pola dasar, biasanya menggunakan pola Pinto Aceh. Tahap ketiga, pola dasar tersebut dijahit dengan mesin sehingga tas Aceh memiliki corak yang khas. Tahap keempat adalah merakit kain terpal yang sudah dipola dengan cara menjahitnya hingga membentuk tas Aceh. Tahap kelima, tas yang sudah jadi diberi aksesoris tambahan.

Mari kita bahas sedikit tentang tas Aceh. Tas adalah benda yang umum kita temui di berbagai daerah. Namun,tas Aceh memiliki keunikan sendiri yang tidak ada pada tas di daerah lain. Tas Aceh memiliki motif yang menggambarkan budaya Aceh, seperti rencong, Pinto Aceh, dan motif etnik lainnya. Meskipun memiliki motif tradisional, tas Aceh tetap mengikuti perkembangan zaman sehingga terlihat modis.

Makna Tersirat Tas Aceh

Salah satu sifat dasar seni adalah keabadian yang akan selalu dikenang. Begitu juga dengan tas Aceh, motif yang terdapat di tas Aceh mengandung unsur seni yang memiliki makna dan kisah tersendiri, seperti motif Pinto Aceh dan Kerawang Gayo.

Motif Pinto Aceh menggambarkan sifat orang Aceh yang awalnya mungkin tidak terlalu terbuka terhadap orang baru, namun dapat menganggap orang baru tersebut sebagai saudara jika sudah akrab. Motif ini juga melambangkan sifat rendah hati dan lapang dada.

Mengutip artikel dari gayo.tribunnews.com yang berjudul “Mengenal 13 Motif Kerawang Gayo dan Makna Yang Tersimpan di Dalamnya”, disebutkan bahwa Kerawang Gayo merupakan hasil karya suku gayo dari Provinsi Aceh Tengah yang menuangkan isi terwangnya kedalam kain dengan cara menjahit. Kerawang gayo sendiri memiliki 13 motif yang berbeda dan memiliki makna masing-masing, misalnya motif Tapak Seleman yang memiliki makna bahwa setiap penyelesaian masalah harus dilakukan dengan arif dan bijaksana. Motif Mata Ni Lo memiliki makna syukur atas nikmat dan kesabaran dalam menghadapi cobaan hidup. Motif-motif Gayo memiliki makna yang berkaitan dengan dasar-dasar kehidupan bermasyarakat.

Mengikuti zamannya, tas Aceh juga memiliki motif baru seperti gelombang atau ombak laut. Motif ini menggambarkan tragedi tsunami di Aceh pada tahun 2004. Mungkin itulah yang dilihat oleh Pak Sanusi dan masyarakat Ulee Madon. Tas tidak hanya sebagai barang fashion, tetapi memiliki kisah tersendiri dalam hidup mereka. Pak Sanusi menganggap tas adalah juga saksi bisu atas perjuangannya dalam menjalani hidup.

Peran Pemerintah

Untuk mengetahui peran pemerintah, saya mewawancarai salah satu anggota Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Lhokseumawe bernama Mulyani, S.E, M.Sn atau yang biasa dipanggil Bu Mulyani dan saat ini menjabat sebagai Sekretaris Dekranasda Aceh Utara.

Menurut Bu Mulyani ada lebih dari 300 industri kerajinan tas Aceh berupa industri kecil menengah di Aceh Utara, dengan satu industri kecil menengah mempekerjakan sekitar 50 orang. Industri kerajinan tas Aceh pertama kali muncul di Ulee Madon, yaitu Thahira Souvenir milik Pak Sanusi. Dekranas sendiri berperan dalam membina industri kerajinan tas Aceh dan memiliki desa kerajinan khusus yang membina pengrajin tas bordir di Gampong Paya Dua, Kecamatan Banda Baro.

Dekranas juga memberikan pelatihan, dan pelatihan tersebut bisa dilakukan di tempat pengrajin, di kantor Dekranas, atau di pusat pelatihan. Dana pelatihan berasal dari APBK. Dekranas juga merencanakan untuk memberikan pelatihan ke sekolah-sekolah.

Bu Mulyani berharap agar bisa memproduksi bahan baku sendiri, karena saat ini masih menggunakan bahan baku impor. Dan juga berencana mendaftarkan satu merek untuk menampung semua pengrajin tas dari Lhokseumawe dengan nama merek "Hai Pase" hasil kerjasama antara Lhokseumawe dan Bekraf. Bu Mulyani juga menyayangkan adanya merek luar yang menjual tas Aceh dengan harga yang jauh di atas harga wajar. “Namun, jika kita membatasi merk luar, para pengrajin kita tidak akan mendapatkan pesanan,” ungkap Bu Mulyani ketika saya mewawancarainya.

Dalam mempromosikan tas Aceh, Dekranas juga mengikutsertakan tas Aceh dalam pameran kerajinan terbesar di Asia, yaitu Inacraft. Saat ini, Bu Mulyani berharap ada pihak luar yang mau ikut mendanai para pengrajin tas Aceh agar mereka dapat lebih berkembang.

Kesimpulannya dari kisah Thahira Souvenir dan Pak Sanusi, kita dapat belajar untuk terus berjuang dan tidak menyerah meskipun dihadapkan pada dinding persoalan yang kokoh. Teruslah melangkah dengan niat yang tulus meskipun melewati jalan yang gelap dan panjang, karena di ujung kegelapan tersebut terdapat cahaya kesuksesan.

Hamzah Arfah

Penulis adalah siswa SMAN Modal Bangsa Arun, Lhokseumawe, Aceh


About The Author

Hamzah Arfah

Siswa SMAN Modal Bangsa Arun. Tahun masuk 2022/2023.

Comments

Comment has been disabled.