Mengenal Perpustakaan Unik Di Tepi Pantai : Sophie Sunset Library


Oleh : Malla Anisa

(Tulisan ini diikutsertakan dalam Festival Literasi Siswa Indonesia Tahun 2023)

Cahaya matahari perlahan naik di balik cakrawala, menerangi langit dengan warna-warna pastel yang indah. Udara pagi yang sejuk dan tenang menyambut kami setelah perjalanan 35 menit dari pusat kota Banda Aceh. Di tepi pantai yang tenang, ada sebuah perpustakaan yang unik. Perpustakaan ini terletak di antara pasir putih dan pepohonan pinus. Aroma kertas di perpustakaan ini bergabung dengan suara ombak yang menenangkan. Tempat ini memberikan kenyamanan dan ketenangan, sehingga kami betah berlama-lama di sini.

Dinamai Sophie Sunset Library, seolah perpaduan antara matahari terbenam dan literasi. Perpustakaan ini berlokasi di Jalan Irwandi Yusuf, Pantai Kuala Cut, Lampuuk, Banda Aceh. Terbuka untuk umum dari hari Selasa hingga Minggu, dengan jam operasional dari pukul 09.00 hingga 20.00.

Perpustakaan ini memiliki halaman dengan gambar permainan engklek yang menyambut pengunjung. Ruang baca Berada di lantai bawah rumah, di dalamnya terdapat rak-rak buku yang tersusun rapi, berisi berbagai jenis buku termasuk karya terkenal J.K. Rowling, yaitu Harry Potter, hingga buku-buku sejarah Aceh. Barang-barang klasik seperti telepon rumah dan mesin tik ikut menambahkan nuansa nostalgia dan keindahan visual di ruangan tersebut.

Di salah satu sudut ruangan, terdapat sejumlah mainan anak termasuk permainan tradisional congklak yang berisi cangkang kerang sebagai bijinya. Selain itu, tersedia juga instrumen musik seperti drum, gitar, dan piano bagi pengunjung yang ingin menikmati dan berkreasi dalam kesenian.

Sophie Sunset Library didirikan pada bulan Juni 2022 dengan misi penting mengembangkan minat membaca pada generasi muda dalam era teknologi yang canggih saat ini. Selain menjadi tempat membaca dan mendapatkan informasi, perpustakaan ini juga berfungsi sebagai ruang pertemuan, berbagi ide, dan menggali kreativitas. Berbagai acara dan kegiatan menarik, seperti diskusi buku, pertunjukan seni, lokakarya, dan kegiatan camping, membuat perpustakaan ini menjadi pusat interaksi sosial dan sumber inspirasi bagi komunitas lokal.

Sayangnya banyak pengunjung yang datang ke perpustakaan hanya untuk kepentingan berfoto dan selfie bersama buku-buku serta barang klasik yang dianggap menarik dan estetik untuk diunggah di media sosial. Perhatian tidak lagi terfokus pada membaca atau mengakses pengetahuan, tetapi lebih pada citra dan tampilan visual.

Fenomena budaya selfie yang meluas saat ini juga berdampak pada pengaruh Fear of Missing Out (FOMO) dalam konteks minat baca dan literasi. FOMO mengacu pada kekhawatiran seseorang untuk melewatkan pengalaman atau peristiwa yang orang lain sedang alami, terutama yang sering ditampilkan melalui media sosial. Dalam buku "The Fear of Missing Out: Practical Decision-Making in a World of Overwhelming Choice" karya Patrick J. McGinnis, dijelaskan bahwa FOMO dapat mempengaruhi minat dan keputusan seseorang, terutama dalam situasi banyak pilihan dalam kehidupan.

Itu sebabnya tantangan yang dihadapi dalam meningkatkan minat baca dan literasi di Indonesia semakin kompleks, terutama mengingat survei yang dilakukan oleh Program for International Student Assessment (PISA) yang dirilis oleh Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) tahun 2019 yang menempatkan Indonesia di peringkat ke-62 dari 70 negara dalam tingkat literasi. Data dari United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) juga mengungkapkan minat baca yang sangat rendah di kalangan masyarakat Indonesia, hanya 0,0001% dari populasi yang menunjukkan minat baca yang aktif.

Namun, di sisi lain, budaya foto dan selfie juga dapat menjadi alat yang efektif dalam mempromosikan minat baca dan literasi. Misalkan ketika orang melihat orang lain berpose dengan membaca buku atau berada di perpustakaan melalui foto selfie di media sosial, hal itu dapat membangkitkan minat dan keinginan untuk ikut serta dalam tren tersebut. Dengan menggunakan media sosial secara bijak, penggunaan selfie dapat menginspirasi orang lain untuk membaca dan mengunjungi perpustakaan.

***

Raihan Lubis, saya memanggilnya Ibu Raihan, adalah pemilik Sophie Sunset Library. Ibu Raihan memiliki pengalaman yang kaya dalam bidang penulisan, komunikasi, dan fotografi. Pada tahun 2003, Ibu Raihan bergabung dengan Detik.com sebagai seorang jurnalis. Ia aktif melaporkan peristiwa penting di Aceh dan pengalaman ini mempererat keterkaitannya dengan masyarakat Aceh sehingga membangun pemahaman mendalam tentang tantangan yang dihadapi oleh masyarakat setempat. Padahal latar belakang keluarganya adalah dari Medan dan tidak menguasai bahasa Aceh.

Ide kreatif dan inspiratif untuk membangun Sophie Sunset Library dimulai ketika Ibu Raihan memutuskan untuk pindah ke Aceh setelah anak-anaknya menyelesaikan sekolah di Bogor pada tahun 2021. Pada suatu hari, seorang teman menawarkan sebuah rumah yang telah terbengkalai selama lima tahun. Meskipun rumah tersebut dalam kondisi yang buruk, Ibu Raihan melihat potensi yang tersembunyi di dalamnya.

"Dulunya, rumah ini hanya ditutupi dengan seng dan di dalamnya berserakan sampah makanan, botol minuman dan bekas kayu bakar. Sepertinya karena pintunya udah gak terkunci lagi, jadi banyak orang atau remaja-remaja yang masuk terus sering nongkrong di sini," cerita Ibu Raihan. Tanpa ragu, Ibu Raihan mengambil kesempatan tersebut dan memulai proses transformasi rumah tersebut menjadi perpustakaan yang unik dan menyenangkan. Ibu Raihan mengisi perpustakaan dengan koleksi buku-buku pribadi, mainan anak-anaknya, dan alat musik milik band kecil keluarganya. Setiap item tersebut memberikan sentuhan pribadi yang khas dan memberikan perpustakaan ini keunikan yang luar biasa.

Sophie Sunset Library awalnya hanya dikunjungi oleh teman-teman dekat Ibu Raihan dan anak-anak sekitar. Namun, segalanya berubah ketika seorang selebgram wanita dengan ribuan pengikut di media sosial datang. Melalui foto-foto yang diunggahnya, perpustakaan ini secara tidak langsung dipromosikan, menarik minat banyak orang yang penasaran dengan keunikan dan pesonanya. Respons dari pengunjung pun beragam, ada yang senang dan menikmati namun ada juga yang sedikit kecewa. Beberapa salah mengira bahwa ini cafe dengan konsep pustaka, yang sebenarnya pustaka dengan konsep kafe.

Salah satu komentar yang menonjol adalah mengenai penggunaan gelas Duralex dalam penyajian minuman. Namun, Ibu Raihan dan suaminya tetap teguh pada prinsip mereka dalam menggunakan gelas kaca dan sedotan stainless yang dapat digunakan ulang. Tindakan ini sejalan dengan prinsip Sustainable Development Goals (SDGs), yaitu mengurangi penggunaan barang sekali pakai untuk mendukung keberlanjutan lingkungan melalui tindakan sederhana namun berdampak positif.

Semakin meningkatnya antusiasme pengunjung yang datang ke perpustakaan ini juga diikuti oleh semakin banyaknya keinginan mendonasikan buku mereka. Meskipun awalnya ragu, Ibu Raihan akhirnya memberi peluang bagi siapa saja yang ingin menyumbangkan bukunya tanpa batasan genre. Koleksi pribadi Ibu Raihan yang awalnya sekitar 1000 buku kini telah melampaui 1500 buku berkat sumbangan dari para donatur. "Setiap buku yang kami terima memberikan peluang baru bagi pengetahuan dan imajinasi orang lain, dan ini menjadi salah satu pilar konsep perpustakaan kami, yaitu berbagi," ujarnya.

.***

Di tengah dominasi teknologi dan media sosial, minat baca seringkali menjadi tantangan, terutama bagi generasi muda. Sunset Library hadir sebagai sumber inspirasi untuk membangkitkan kembali minat baca dan mewujudkan cita-cita dalam dunia literasi dengan konsep yang berbeda.

Tujuan sejati di balik pendirian Sunset Library adalah menciptakan ruang yang mirip dengan rumah, di mana masyarakat, terutama anak-anak dan remaja yang terjerat dalam tren teknologi, dapat menemukan kegembiraan membaca. Dengan mengadopsi konsep perpustakaan yang menyerupai ruang keluarga, Sunset Library memberikan kesan yang berbeda dengan suasana nyaman ala rumah.

Lingkungan keluarga yang mendukung minat baca memiliki dampak signifikan pada perkembangan literasi anak. Anak-anak yang tumbuh dalam keluarga yang aktif membaca memiliki peluang lebih besar untuk menjadi pembaca yang rajin dan terampil.

Prof. Anies Baswedan, seorang tokoh pendidikan Indonesia, dalam bukunya yang berjudul "Membangun Budaya Membaca di Era Digital", menekankan pentingnya peran keluarga dalam membangun budaya membaca. Menurutnya, orang tua yang membaca bersama anak-anak tidak hanya mengembangkan minat baca, tetapi juga memperkaya wawasan dan memperkuat ikatan keluarga. Fakta-fakta ini menggambarkan bahwa lingkungan keluarga yang aktif dalam membaca memiliki peran penting dalam membentuk minat baca dan literasi anak.

Ibu Raihan berharap perpustakaan ini terus berkembang dan menjadi wadah untuk mengembangkan bakat anak-anak, serta berperan dalam berbagi untuk amal jariyah. Ia juga berkomitmen untuk memperluas akses pengetahuan dengan mendirikan perpustakaan lain di pusat kota.

Dalam kata-kata Paulo Coelho, "Sebuah buku adalah alat pengungkap misteri. Ketika membacanya, dunia menjadi lebih besar, dan kehidupan menjadi lebih berwarna." Sophie Sunset Library mengajak generasi muda untuk membuka halaman-halaman buku, memperluas wawasan, dan menghidupkan kehidupan dengan warna-warni pengetahuan dan imajinasi. Sophie Sunset Library menjadi tempat inspiratif yang memperkaya kehidupan generasi muda dengan pengetahuan, ide-ide segar, dan kreativitas yang tak terbatas.

***

Malla Anisa

Penulis adalah siswa SMA Negeri Modal Bangsa Arun


About The Author

Malla Anisa

Siswa SMAN Modal Bangsa Arun. Tahun masuk 2021/2022.

Comments

Comment has been disabled.