Takjil Untuk Kongwei


Oleh: Ainsyah Salsabil

(Tulisan ini diikutsertakan dalam Festival Literasi Siswa Indonesia Tahun 2023)

Namaku Fahri, seorang mahasiswa baru di salah satu universitas negeri yang letaknya puluhan kilometer dari desa. Tahun ini aku menginjak usia 20 tahun. Aku adalah seorang anak tunggal dari keluarga yang berkecukupan. Keluarga kami tinggal di sebuah desa di provinsi Aceh yang letaknya lumayan jauh dari kota. Bapakku adalah seorang petani pemilik sedangkan ibuku adalah salah seorang pengajar di masjid desa kami.

Aku menghabiskan masa remajaku di sebuah pondok pesantren modern di kota. Di desa kami, menempuh pendidikan di pondok pesantren sejak kecil itu sudah menjadi seperti sebuah tradisi. Oleh karena itu, bapak mendaftarkanku menjadi santri di sana ketika aku baru saja menginjak usia 6 tahun. Sejak menjadi santri, aku mulai jarang pulang ke kampung halaman untuk sekedar melepas rasa rindu kepada keluarga. Biasanya, aku pulang kerumah hanya sebanyak 2 kali dalam setahun dan itupun hanya pada momen-momen tertentu seperti bulan Ramadan dan hari raya Iduladha.

Aku berambut hitam dan sedikit ikal. Panasnya matahari membakar kulitku yang berwarna putih menjadi sawo matang. Polusi udara di kota membuat kulitku menjadi kusam. Proporsi tubuhku tegak dan tergolong tinggi, sekitar 175 cm. Banyak orang yang bilang bahwa aku adalah duplikat bapak, bagaimana tidak? Mulai dari garis hidung yang mancung, alis berwarna hitam yang tebal, garis wajah yang tegas, serta warna iris mata yang berubah menjadi coklat muda ketika terkena sinar matahari semuanya diwariskan oleh bapak. .

***

Sudah tiga hari aku berada di desa, sore ini angin bertiup dengan kencang, rambutku menjadi kusut tertiup angin. Hari sudah mulai memasuki waktu sore, matahari sudah tidak lagi memamerkan sinar nya seperti di siang hari. Sedari tadi aku fokus mengendarai sepeda ontel milik bapak menuju pasar yang letaknya tidak terlalu jauh dari perumahan warga. Jarak antara pasar dengan perumahan warga hanya sekitar 200 meter. Rasanya sudah sangat lama aku tidak mengunjungi pasar di desa kami. Aku ingat betul terakhir kali aku pergi ke pasar saat aku masih duduk di bangku sekolah dasar. Saat itu aku digandeng ibu berbelanja di pasar. Aku penasaran apakah ada perbedaan antara pasar yang dulu kulihat dengan pasar yang sekarang.

Hari ini aku mengendarai sepeda ontel di sebuah jalan yang terletak di tengah-tengah sawah. Jalan ini khusus dibuat untuk menghubungkan desa kami dengan desa tetangga. Sepanjang perjalanan aku tidak melihat adanya tanda-tanda rumah warga, hanya ada sawah yang ditanami padi di atas tanah yang subur.

Setelah mengendarai sepeda ontel sekitar 8 menit dan melewati jalanan desa yang mulus, akhirnya aku tiba di area pusat perbelanjaan warga. Aku memarkirkan sepeda di sebuah lahan kosong yang terletak di dekat pintu masuk area pasar. Setelah memarkirkan sepeda, aku berjalan diantara himpitan orang-orang. Suasana pasar terasa begitu ramai, banyak orang-orang yang mengunjungi pasar untuk membeli kebutuhan berbuka mereka. Saat baru memasuki area pasar aku mendengar suara lantang yang bersahut-sahutan dari segala sudut pasar, para pedagang berlomba-lomba menarik pembeli untuk singgah ke lahan mereka berdagang.

Neu piyoh dilee kak, neu piyoh dilee dek, neu piyoh dilee buk, neukalon-kalon (Mampir dulu kak, mampir dulu dek, mampir dulu buk, lihat-lihat),” panggilan khas pedagang di sini kepada orang-orang yang lewat.

“Meurah meurah pak, meurah meurah buk, cuma limong blah ribee sagai, neu piyoh laju keuno! (Murah-murah pak, murah-murah buk, cuma lima belas ribu, mampir kesini terus!).”

Aku melihat ada beraneka ragam makanan yang dijual, mulai dari kue, gorengan, hingga makanan berkuah seperti kari ayam dan kuah beulangong (kuah kari kambing), yang ketika dilewati tercium aroma rempah-rempah tradisional seperti lada, jahe, dan beragam jenis dedaunan rempah lainnya. Aroma khas yang menyengat dari makanan-makanan itu membuat perutku berbunyi, mungkin saat ini cacing-cacing di dalam perutku sedang berteriak keras meminta makan.

Sesampai di kedai kue, aku mulai memilih dengan menggunakan penjepit yang disediakan oleh pemiliknya. Saat sedang asyik memilih kue, aku mendengar suara yang tidak asing di telingaku. Aku menoleh ke arah sumber suara itu dan mendapati seorang pria tua yang memiliki wajah khas berdarah Tionghoa sedang memilih kue-kue basah. Tubuhnya sudah tidak segagah dulu, tampaknya saat ini usianya mencapai usia 60 tahun. Dia memiliki tinggi tubuh sekitar 168 cm. Pria tua yang tingginya sebahu ku itu mengenakan kemeja lengan pendek berwarna navy dengan motif kotak-kotak berwarna putih.

Kulit wajah pria itu memiliki banyak garis halus dan mengendur dimakan usia, pada bagian pipi pria itu terdapat flek hitam yang jumlahnya sangat banyak. Bibirnya sudah tidak terlihat segar seperti orang-orang pada umumnya. Matanya sipit dengan kantung mata di bawahnya. Pada bagian matanya tidak terlihat tanda-tanda adanya lipatan mata ganda yang membuat terlihat sangat berbeda dengan orang-orang pada umumnya di desa kami. Bentuk hidungnya tipis dan rata dengan ujung yang lebih pendek. Terdapat begitu banyak rambut beruban di kepalanya. Dia adalah seorang pria tua yang tinggal berdua bersama istrinya di sebuah rumah yang terletak tidak jauh dari rumahku.

Warga desa kerap memanggilnya “Engkong”, sebuah panggilan untuk keturunan Tionghoa yang lebih tua. Orang-orang di desa mengenalnya orang yang sangat tertutup, tidak banyak dari warga desa yang benar-benar mengetahui hal apapun tentangnya. Terakhir kali aku bertemu dengannya waktu aku mulai menginjak usia sepuluh tahun, kala itu dirinya muda dan kuat, apalagi saat berteriak memarahi anak-anak yang memanjat pohon mangga madu miliknya.

Pohon mangga madu yang berdiri kokoh itu selalu berbuah lebat setiap musim panen. Buah-buah yang ada di dahannya berukuran sekepal tangan orang dewasa dan rasanya sangat manis. Batang pohon itu tidak terlalu tinggi sehingga mudah untuk dipanjat oleh anak-anak. Dulu, aku dan teman-teman lainnya pernah beberapa kali memanjat pohon mangga madu milik Engkong.

Pernah suatu waktu aku dan teman-teman lainnya tertangkap basah sedang mencuri buah mangga madu yang dibungkus dengan plastik di atas pohon. Aku masih mengingat wajahnya yang merah padam ketika berteriak kepada kami menggunakan bahasa Indonesia yang bercampur dengan bahasa Mandarin. Wajahnya berkerut ketika berteriak kepada kami, kami yang waktu itu belum memasuki usia remaja merasa sangat terkejut dan lari terbirit-birit.

Mengingat hal itu aku jadi merasa bersalah. Setelah memasuki usia dewasa aku jadi sadar bahwa perbuatanku dan teman-temannya lainnya itu merupakan sebuah kesalahan besar, hendaknya saat itu kami tidak mencuri barang milik orang lain. Perasaan bersalah itu masih tertanam jauh di dalam hati kecilku. Setiap melewati rumah Engkong kenangan masa kecil itu selalu terlintas dan selalu muncul perasaan malu.

Meski kejadian itu sudah lama, entah kenapa sampai hari ini aku tidak memiliki nyali untuk menyapa Engkong. Perasaanku tiba-tiba menjadi sangat cemas. Aku takut Engkong mengenalku dan mengungkit kembali kejadian itu. Aku kembali melirik Engkong yang ada disebelahku, aku terus menerus menghindari kontak mata secara langsung dengannya. Aku tidak tahu apa yang membuatku menjadi seperti anak kecil yang ketakutan melihat sesuatu, padahal masalah itu sudah bertahun-tahun berlalu. Tanpa kusadari Engkong sudah tidak lagi berdiri disampingku, dia telah meninggalkan kedai, perasaanku jadi lega.

***

Waktu menjelang buka. Di meja makan sudah dihidangkan beraneka macam makanan, seperti buah kurma, buah semangka, mie goreng khas Aceh dan sebakul nasi yang masih hangat.

Katroh u rumoh neuk? Pakon teulat that, pu na halangan bak jalan? (Sudah pulang nak? Kenapa lama sekali, apakah ada halangan di jalan?)” tanya ibu sambil meraih plastik kue yang kuberikan.

Sambil tersenyum, aku menarik kursi di sebelah bapak.

Rame ureung meuno di pasai Mak, maka jih teulat troh, Ahamdulillah di jalan aman tuhan bri (Ramai orang di pasar tadi Mak, makanya terlambat sampai, Alhamdulillah di jalan baik-baik saja),” aku menjawab sambil menatap antusias makanan yang dihidangkan ibu di atas meja.

Ibu hanya tersenyum kearahku sambil meletakkan semangkuk kuah kari ayam yang masih hangat diatas meja makan, lalu duduk berhadapan denganku. Tanpa disadari langit sudah mulai gelap dan azan di masjid sudah berkumandang. Bapak lalu memimpin doa berbuka puasa.

“Fahri, singeuh bapak lake bantu, tulong jok siat takjil nyoe keu Eungkong. (Fahri, besok bapak minta tolong, pergi ke rumah Engkong untuk kasih takjil) Ucap bapak dengan tegas.

Aku terkejut mendengar perkataan dari bapak, mengingat dulu aku pernah ketahuan mencuri mangga milik Engkong.

“Satnyoe bapak kalheuh meujok dana keu panitia acara, rencana lon, singeuh bapak neuk bagi takjil (Tadi bapak sudah memberikan dana ke panitia acara di masjid, rencana saya besok bapak mau membagikan takjil),” tambah bapak.

Aku tidak dapat menolak permintaan bapak. Aku hanya mengangguk, mengerti. Bapak bergegas bangun dari duduknya setelah meneguk air mineral dan meninggalkan meja makan untuk melaksanakan salat maghrib.

***

Seperti yang dijanjikan kemarin, aku pergi ke masjid untuk meminta bagian takjil milik Engkong kepada panitia acara. Persiapan acara bagi-bagi takjil di masjid diserahkan sepenuhnya kepada pengurus dan remaja masjid, kita hanya perlu memberikan makanan yang sudah dikemas atau memberikan dana kepada panitia acara. Aku menemui salah seorang panitia dan menyampaikan amanah yang diberikan oleh bapak kepadaku kemarin, tanpa membutuhkan waktu lama panitia itu memberikan tiga kotak kue kepadaku.

Hari sudah hampir memasuki waktu sore. Saat berjalan menuju rumah Engkong, aku melihat masih ada beberapa rumah Aceh. Rumah-rumah itu dibangun dengan menggunakan papan keras dan kayu yang sangat kokoh. Pada bagian dinding rumahnya yang terbuat dari papan keras itu terdapat ukiran-ukiran khas Aceh. Satu hal yang membuatku tertarik pada rumah Aceh ini adalah daya tahannya yang sangat kuat hingga dapat menahan gempa.

Sekitar 5 menit kemudian aku tiba di depan pintu rumah Engkong. Dari luar, rumahnya terasa begitu sepi, ada sebuah Seng Thi Kong berwarna merah di dindingnya, yaitu tempat Hio yang diletakkan di depan rumah sebagai bagian dari ibadahnya. Aku menjadi sedikit ragu untuk mengetuk pintu rumahnya, seketika keberanian untuk bertemu dengan Engkong hilang begitu saja. Aku terus menerus menghela nafas dan menelan ludah. Jantungku berdetak tidak karuan, aku mencoba menenangkan diriku yang sedari tadi mondar-mandir di depan pintu rumah Engkong.

Tiba-tiba Engkong keluar dari dalam rumah, dan menanyakan maksud kedatanganku kerumahnya. Aku menyampaikan maksud kedatanganku dan segera memberikan dua kotak yang berisi makanan di tangannya. Engkong menerima pemberianku dengan senang hati, wajahnya tampak sangat bahagia. Ujung matanya berkerut ketika dia tersenyum. Aku meminta maaf kepada Engkong dan menceritakan kejadian di masa lalu yang membuat Engkong marah kepadaku dan teman-teman lainnya.

Ternyata Engkong sudah lupa dan tidak mempermasalahkan kejadian itu, dia mengatakan bahwa dia hanya khawatir kami akan terjatuh dari atas pohon dan cedera. Setelah mendengar hal itu aku merasa sedikit malu karena sudah berpikir bahwa Engkong memarahi kami karena mencuri buah di pohon yang selama ini sudah susah payah dirawat olehnya. Disaat suasana mulai mencair, aku berinisiatif untuk mengenal lebih jauh dengannya.

“Kalau boleh tau nama lengkap kakek siapa ya?” tanya ku padanya.

“Nama lengkap kakek Wei Fu-Chan,” jawab Engkong sambil tersenyum.

“Oh begitu, jadi nama kakek Wei Fu-chan, kalau gitu saya apa boleh saya panggil Kong Wei aja besok-besok?”

“Boleh. Mirip seperti cucu dari keluarga saya, panggil saya Kongwei saja, hahaha” Ucap Engkong sambil tertawa terbahak-bahak.

“Di masa lalu orang belajar untuk memperbaiki diri mereka sendiri, saat ini mereka belajar untuk membuat orang lain terkesan, dan saat ini kamu membuat saya terkesan dengan sifat jujur dan tanggung jawabmu itukata Engkong sambil menyilangkan tangan dibelakang.

Aku hanya tersenyum tersipu malu dan merasa tersanjung dengan pujian yang dilontarkan oleh Engkong kepadaku.

Aku berterimakasih kepada Engkong dan segera berpamitan. Engkong ikut mengantarku ke pagar, dia memandangiku dengan senyuman yang lebar hingga membuat matanya ikut tersenyum. Sebuah senyuman indah yang tidak pernah kulihat dari Engkong sebelumnya. Ternyata Engkong adalah orang yang sangat ramah dan baik hati.

Di perjalanan pulang dari rumah Engkong, aku melihat masih banyak warga desa yang berlalu lalang, tadinya aku berpikir jalanan akan sangat sepi karena hari sudah mulai gelap. Di antara warga desa yang berlalu lalang ada yang mengendarai sepeda, ada pula warga yang pulang hanya dengan berjalan kaki. Beberapa diantara pejalan kaki tersebut adalah petani yang baru saja pulang membeli takjil setelah menyelesaikan pekerjaan mereka. Pakaian mereka tampak begitu lusuh dengan beberapa cipratan lumpur dari sawah. Keringat sebesar biji jagung bercucuran di dahi mereka.

Aku pulang sambil melihat hamparan sawah yang luas. Angin sepoi-sepoi menyapa padi yang menari-nari di sawah membuat tubuhku merasa tidak terlalu gerah. Hari sudah hampir memasuki waktu maghrib, burung-burung beterbangan di langit kembali ke habitatnya.

-Tamat-

Ainsyah Salsabil

Penulis adalah siswa SMA Negeri Modal Bangsa Arun


About The Author

Ainsyah Salsabil

Siswa SMAN Modal Bangsa Arun. Tahun masuk 2022/2023.

Comments

Comment has been disabled.