Oleh : Teuku Daniel Arfan
(Tulisan ini diikutsertakan dalam Festival Literasi Siswa Indonesia Tahun 2023)
Ingatan manusia memang tak sekuat ingatan burung beo; begitu terlupakan, sulit untuk menghidupkan kembali momen yang pernah terjadi. Pada tahun 2020, terdapat tes memori visual antara siswa Harvard dan burung beo bernama Griffin. Hasilnya menunjukkan bahwa burung beo ternyata memiliki ingatan visual yang kuat, penjelasannya karena kepadatan neuron pada burung beo yang sangat tinggi, sehingga daya ingatnya mampu menyaingi manusia.
Barangkali nasib canang ceureukeh juga akan dilupakan, padahal alat musik perkusi ini dulu sangat diminati dan dipuja oleh banyak orang. Tetapi kini hanya menjadi kenangan ingatan samar bagi sebagian yang masih menyimpannya dalam ingatan, bahkan orang yang membuat dan alatnya itu sendiri sulit ditemukan.
Muhammad Isa Daud (76), yang biasa dipanggil Abu Isa, merupakan salah satu pembuat canang ceureukeh yang masih membuat alat musik tersebut dan berada di Aceh Utara. Pada tahun 1980-an, ia mulai membuat alat musik tradisional Aceh dan mulai mengembangkan pembuatan rapa'i pada tahun 2000-an.
Untuk canang ceureukeh, baru beberapa tahun belakangan ini ia memulai membuatnya. Pernah beberapa orang yang mencari pembuat canang ceureukeh. Anak Abu Isa, yang mendengar tentang kabar tersebut, memberitahukannya. Saat ditanyakan apakah bisa membuat canang ceureukeh, ia menjawab, "Jeut, peujeut man hanjeut", yang artinya, "Bisa, siapa yang bilang tidak bisa."
Abu Isa tinggal bersama dengan keluarganya di Desa Lhok Jok Kutamakmur, Aceh Utara. Di tempat tersebut, tangannya yang terampil membuat alat musik tradisional seperti canang ceureukeh, serunee kalee, rapai, leusong tunjang, ataupun alee tunjang. Ia belajar membuatalat musik tradisional Aceh dari kakeknya Penerus dari Abu Isa adalah anak sulungnya.
Dulunya setelah panen selesai, kepala desa akan mengadakan pesta yang umumnya berlangsung selama tiga malam, terkadang bisa sampai satu bulan penuh. Pada malam-malam tersebut, akan terdengar melodi-melodi indah dari sebuah perpaduan alat musik tradisional, seperti canang ceureukeh, alee tunjang, serunee kalee, dan rapaâi. Alat musik tersebut diiringi oleh syair-syair dalam bahasa Aceh. Pengunjung yang datang berasal dari kampung setempat dan sekitar. Uniknya orang yang datang dari berbagai kampung membawakan syair-syair yang berasal dari kampung mereka masing-masing. Tapi sayangnya syair-syair tersebut tidak tercatat dalam literatur. Meski demikian, syair Aceh pada umumnya mengandung nilai-nilai moral dalam penyampaiannya, seperti "Peulara Adat" karya Medya Hus:
Oh tajak rata gampong ta kunjong saheh
(pergi ke kampung manapun tetap menjunjung syariat)
Â
waloe pun meukleh timu ngon barat
(walaupun tidak akur timur dan barat)
Â
takalon ureung gampong kumujong saheh
(terlihat orang-orang kampung tetap menjunjung syariat)
Makna yang terkandung dalam satu bait syair di atas adalah bahwa di Aceh mau kemanapun melangkahkan kaki, syariat Islam harus terus dijunjung. Walaupun terlibat pertengkaran, syariat islam tetap yang utama, yang juga membuat Aceh memiliki peraturan yang sesuai dengan syariat Islam yang disebut Qanun.
Selain itu canang ceureukeh tidak hanya berfungsi sebagai alat musik untuk menghibur, tetapi juga digunakan untuk menjauhkan hama dari padi. Pada saat itu suara canang ceureukeh difokuskan menjadi lebih bising dapat membuat hama, seperti burung, menjauh dari tempat tersebut. Karena alasan ini, canang ceureukeh juga sangat disukai oleh para petani, karena selain menghibur, alat musik ini juga dapat digunakan untuk menjaga padi.
Pembuatan Canang Ceureukeh
Canang ceureukeh sering dibuat dengan menggunakan kayu seumiyob, meudang jeubeut, Ukurannya memiliki standar tersendiri. Dulu canang ceureukeh dimainkan di atas pelepah pisang, namun saat ini Abu Isa membuat canang ceureukeh menggunakan penyangga yang terbuat dari kayu. Hal tersebut dikarenakan penyangga memiliki nilai praktis, berbeda dengan pelepah pisang yang tidak praktis dan juga memiliki sifat yang cepat membusuk. Penyangga tersebut memilikimotif pucok reubong berwarna keemasan, menambah estetika pada penyangga tersebut.
Berdasarkan artikel âKajian Organologi Alat Musik Tradisional Canang Ceureukehâ yang ditulis oleh Ilham Maulana, dkk., yang dipublikasikan oleh Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), disebutkan bahwa terdapat tiga bilah dengan makna simbolis. Bilah pertama disebut "Tingkah" yang menggambarkan kehidupan masyarakat. Bilah kedua dan keempat disebut "Rempah" yang melambangkan bumbu dalam masakan. Bilah ketiga disebut "Chup-chup" yang menggambarkan tindakan mencolek atau menggoda, sebagai pengingat agar tindakan yang tidak baik dihindari dalam menciptakan kerukunan masyarakat.
Canang ceureukeh adalah alat musik tradisional yang cara pembuatannya masih menggunakan cara tradisional dan membutuhkan dua hari untuk pembuatannya. Proses pembuatannya sendiri meliputi pemotongan kayu, penghalusan, pembentukan, pewarnaan dan penyeteman. Penyeteman pada instrumen ini merupakan bagian yang sulit, dan jika ada bilah yang tidak selaras, harus diganti dengan bilah baru.
Menurut Abu Isa, membuat canang ceureukeh sendiri tidak sulit, tetapi mengatur nada-nadanya sangat sulit dan membutuhkan waktu yang banyak untuk dipelajari. Sayangnya, minat dari generasi muda terhadap kebudayaan tradisional, termasuk canang ceureukeh, menurun karena keterpautan pada teknologi. Hal ini menyebabkan orang yang mampu memainkan instrumen ini menjadi sangat langka. Abu Isa juga merasa tidak sanggup lagi mengajar orang yang ingin belajar membuat dan bermain canang ceureukeh.
Abu Isa menjelaskan bahwa setiap bilah canang ceurekeh ditandai dengan nomor satu hingga empat untuk memastikan posisinya tidak tertukar. Suara bilah yang selaras penting untuk memainkan pola musik atau lagu dengan baik. Terdapat empat pola musik dalam canang ceureukeh, diurutkan dari yang mudah hingga sulit, dengan nomor 1 hingga 4. Pola-pola ini dimainkan secara berurutan untuk menciptakan alunan musik indah. Pertunjukan canang ceurekeh yang disertai alat musik tradisional Aceh dan syair Aceh akan semakin memukau.
Saat ini canang ceureukeh dapat ditemukan di Museum Samudra Pasai sebagai bagian dari koleksi alat musik tradisional. Museum ini menyediakan penjelasan dan kesempatan bagi pengunjung untuk mempelajari lebih lanjut tentang canang ceureukeh dan warisan musik tradisional Aceh lainnya.
Masuk Dalam Warisan Budaya Tak Benda (WBTB)
WBTB adalah program pemerintah yang mengakui dan melestarikan warisan budaya tak benda Indonesia. Tujuannya adalah untuk mempromosikan dan melestarikan kesenian tradisional yang hampir punah. Untuk kasus Aceh, contohnya canang ceureukeh, dikee pam panga, dan biola mop-mop merupakan warisan budaya tak benda Indonesia yang telah diakui oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi antara tahun 2018-2021.
Institut Meurak Jeumpa, dipimpin oleh Mansur Muhammad Alamsyah (Nyakman Lamjame), adalah lembaga yang fokus dalam menjaga dan mempopulerkan kembali budaya Aceh yang hampir punah, khususnya di Aceh Utara dan sekitar, seperti canang ceureukeh.
Menurut Nyakman beberapa hal yang menjadi penyebab dari hilangnya kebudayaan Aceh adalah konflik dan perubahan sosial di Aceh, sehingga mengakibatkan penurunan perhatian terhadap kebudayaan Aceh. Ditambah lagi, proses pemulihan infrastruktur yang menjadi prioritas utama pemerintahan, sementara pelestarian budaya terabaikan. Masyarakat yang menjadi korban konflik dan tsunami lebih fokus pada kebutuhan primer.
Penggunaan teknologi modern juga telah menggeser gaya hidup. Untuk kebutuhan hiburan orang-orang dulu datang ke pertunjukan panggung, berbeda dengan sekarang, sarana hiburan bisa didapatkan langsung melalui smartphone. Akibatnya, usaha pelestarian kebudayaan Aceh, sulit dilakukan karena kehilangan penonton.
Nyakman bercerita bahwa untuk mengusulkan masuknya canang ceurekeh ke dalam Warisan Budaya Tak Benda (WBTB), diperlukan proses yang melibatkan pembuatan tulisan, foto, dan video dokumentasi kegiatan tersebut. Setelah itu, dilakukan sidang yang dihadiri oleh perwakilan dari seluruh Indonesia. Sidang tersebut akan menentukan apakah kesenian tersebut akan disetujui sebagai WBTB dan apakah akan diberikan sertifikat sebagai pengakuan resmi.
Meskipun canang ceurekeh kini telah diakui sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB), tapi masih kurang mendapat perhatian yang signifikan dari pemerintah dan masyarakat. Kurangnya minat dan ketertarikan dari masyarakat sendiri menjadi tantangan dalam mempromosikan canang ceurekeh kepada khalayak yang lebih luas.
Harapan Nyakman adalah agar semua kesenian Aceh yang sudah hampir punah tidak hilang selamanya, tetap ada, dan terus berkembang. âPerlu peran seluruh masyarakat Aceh untuk melestarikan kebudayaan yang ada,â ungkapnya. Karena jika hanya segelintir orang yang melakukannya, maka pelestarian tidak akan berhasil.
Senada dengan Nyakman, Abu Isa juga memiliki harapan yang sama. âHarapan lon saboh teuk keu canang ceureukehnyo, bue meulambong, adak pih ulon ka tuha. Tapih keuseniannyo bek sampoe gadoeh han meuho punca, adak sangkira ulon manteng sehat neubri le Allah rata daerah ulon peudeuh keusenian canangyo," tuturnya dengan penuh semangat dalam bahasa Aceh. Artinya, âHarapan saya bahwa perkembangan canang ceureukeh tetap berlanjut. Meskipun saya sudah tua, saya tetap berkomitmen untuk tidak membiarkan kesenian Aceh hilang. Jika saya masih mampu, saya ingin pergi dan menampilkan canang ceureukeh.â ungkap Abu Isa
Meskipun usianya sudah menua, Abu Isa tetap bersemangat untuk melestarikan kesenian Aceh. Ia ingin terus terlibat dalam pertunjukan canang ceurekeh. Namun, peran penting dalam menjaga tradisi seperti canang ceureukeh juga ada pada pemerintah daerah. Pemerintah daerah memiliki tanggung jawab untuk melestarikan dan mempromosikan warisan budaya, termasuk tradisi canang ceureukeh. Oleh karena itu, diperlukan peran aktif dari semua pihak, termasuk masyarakat, pemerintah, sektor swasta, dan media, dalam menjaga agar tradisi canang ceureukeh tetap hidup dan tidak terlupakan.
Â
Teuku Daniel Arfan
Penulis adalah siswa SMAN Modal Bangsa Arun, Lhokseumawe, Aceh