tu@smanmba.sch.id

0645 65 3247,3248,3249

  • Khanduri Blang


    Oleh : Ainsyah Salsabil (Kelas X 2)

    Namaku Cut Meutia Az-Zahra atau sering dipanggil Tia, dan aku tinggal di Gampong Mulia yang dikenal dengan hasil tani yang melimpah, semangat gotong royong, dan kebersamaan yang tinggi. Setiap kali warga Gampong (atau kampung dalam Bahasa Indonesia) mengadakan kegiatan seperti hajatan, warga dari desa tetangga banyak yang ikut hadir dan bersukacita. Misalnya acara Khanduri Blang yang diadakan rutin setahun dua kali. Di lapangan desa, didirikan tenda sederhana, beralaskan terpal biru, seluruh warga yang hadir duduk bersila diatasnya dan menyantap makananan yang dipersiapkan secara bersama-sama.

    Khanduri Blang atau kenduri sawah adalah salah satu tradisi yang biasanya dilakukan petani di desa kami menjelang menanam padi yang baru. Tradisi Khanduri Blang dibuat dengan tujuan bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. Namun, kini tradisi Khanduri Blang sudah beberapa kali ditunda, begitu yang kudengar dari pembicaraan petani saat kami beristirahat. Tak pernah disebutkan alasannya. Aku juga tidak berani bertanya.

    ***

    Sudah 6 bulan hujan jarang turun di desa kami. Apabila turunpun biasanya hanya sebentar. Air yang tertampung hanya cukup untuk keperluan sehari-hari dan tidak cukup untuk sawah. Hanya air irigasi yang menjadi harapan terakhir petani di sini. Itupun jumlahnya berkurang tiap tahun. Warga desa menyiasatinya dengan cara menggilir sawah untuk mendapat air irigasi.

    Ayah juga punya sawah di sini, berukuran satu rante. Satu rante kurang lebih berukuran 20×20m. Cuaca yang tidak menentu telah memaksa ayah bekerja lebih dari biasanya. Sebagai anak pertama, ayah meminta tolong untuk membantu menggarap sawah sementara ayah mencari tambahan penghasilan di tempat lain. Semenjak itu, aku jadi sering turun ke sawah dan lambat laun membuat kulitku coklat terbakar. Terkadang jika melihat cermin, aku rindu warna kulitku yang dulu.

    Pagi itu, ayah mengajakku pergi ke sawah untuk membantunya menyiapkan sawah karena musim tanam segera tiba. Dan seperti biasa, ibu menyiapkan bekal makanan dan minuman agar kami dapat menikmatinya saat beristirahat.

    Setelah berjam-jam bekerja di bawah terik matahari, kami duduk melepas lelah diatas sebuah rangkang sederhana yang terbuat dari bambu. Ayah meminum segelas kopi, kemudian menatap ke arah sawah yang luas.

    “Sekarang adik sudah kelas 3 Tsanawiyah di Dayah. Kemarin dia bilang butuh baju,” kata ayah membuka pembicaraan. Ayah kembali meneguk kopi.

    Di keluargaku, hanya adik yang bersekolah di Dayah. Ayah ingin sekali salah seorang anaknya bisa mengaji dan memimpin doa. Makanya ia disekolahkan di Dayah yang secara kelembagaan mirip dengan pesantren, Dia tinggal di asrama dan letak sekolahnya tidak terlalu jauh, hanya membutuhkan 2 jam perjalanan dengan kendaraan.

    “Memangnya baju untuk apa ayah?” tanyaku kepada ayah.

    “Baju untuk perpisahan sekolahnya,” jawab ayah sambil meletakkan gelas kopinya. Raut wajahnya menyimpan ketenangan. Ayah adalah orang yang kerap menyembunyikan rasa susahnya. Tetapi aku paham, ada hal yang mengganggunya.

    “Kenapa dia tidak gunakan baju yang ada saja?” aku mencoba memberi solusi.

    “Katanya untuk seragam kelas, jadinya harus buat baru,” jawab ayah. Sesaat suasana menjadi hening. Kami memilih diam. Hanya kicau burung dan bau tanah lumpur yang berusaha memecah kesunyian.

    “Tia juga akan lulus, apa perlu baju juga untuk perpisahan?” tanya ayah sambil melihat kearahku.

    “Tidak ada ayah. Kalau sudah SMA mana perlu yang begituan,” sahutku dengan tegas.

    Padahal teman-temanku sedang sibuk-sibuknya membahas warna baju yang akan dikenakan saat acara kelulusan 2 bulan lagi. Aku sebenarnya juga ingin ikut berpartisipasi pada acara itu. Tapi keadaan sepertinya tidak memungkinkan.

    Perlahan matahari beranjak turun dan kami bergegas pulang. Langit berwarna jingga menghasilkan suatu pemandangan yang membuat siapapun yang melihatnya tidak pernah bosan. Ada jingga, merah, dan keemasan yang menyatu di langit, di antara gerombolan kalelawar yang keluar mencari makan.

    ***

    Seusai shalat maghrib dan mengaji bersama, kami sekeluarga berkumpul di meja makan seperti hari-hari sebelumnya. Ada semangkuk kuah pliek khas Aceh yang masih hangat diatas meja makan. Di sampingnya ada ikan asin. Kuah pliek memang paling nikmat disantap dengan ikan asin. Tiada tara rasanya. Malam ini ibu menghidangkan masakan kesukaan kami sekeluarga.

    “Yah tadi sore nek Hindun datang kerumah,” ibu mengawali pembicaraan.

    “Dia tanya kapan acara Khanduri Blang dibuat lagi? Mungkin ayah bisa bantu tanya ke geuchik,” sambung ibu. Geuchik adalah istilah dalam bahasa Aceh yang berarti Kepala Desa.

    “Percuma ngomong sama mereka. Bak ie laot, peue taboh sira. Jangan menggarami air laut,” terang ayah santai.

    “Ga ada salahnya dicoba, mungkin kali ini geuchik mau mendengar. Ayah ajaklah beberapa kawan-kawan biar lebih ditanggapi,” usul ibu.

    “Iya, nanti ayah akan coba tanyakan hal ini ke geuchik dengan teman-teman ayah yang lain” jawab ayah sambil kembali menyantap makanannya.

    Nek Hindun biasa kupanggil dengan nek Ndun adalah orang tua di desa kami. Menurut perkiraan usianya saat ini sudah menginjak sekitar 80 tahun. Di usianya yang sudah sepuh itu, nek Ndun adalah saksi banyak peristiwa yang terjadi di desa kami.

    Nek Ndun tinggal berdua bersama cucu laki-lakinya yang seusia denganku. Dulu, anak dan menantunya yang juga tinggal bersama. Tapi semenjak keadaan di desa semakin sulit mencari nafkah, keduanya memutuskan bekerja di luar negeri. Anak semata wayang dititipkan kepada nek Ndun karena tidak bisa dibawa serta.

    Suami nek Ndun sudah lama meninggal dunia. Namanya adalah Usman. Kek Usman dan nek Ndun adalah pasangan yang dikenal saling mencintai satu sama lain. Dulu kalau ke sawah, mereka sering terlihat bersama. Biasanya nek Ndun dibonceng kek Usman menaiki sepeda ontel.

    Keadaan desa mengalami perubahan semenjak geuchik pada masa itu, bersama dengan Lurah, memberi izin pembukaan lahan sawit di tempat yang tak begitu jauh dari desa. Tempat tersebut adalah daerah rawa, yang memiliki banyak kandungan air. Tanah rawa itu terhubung dengan irigasi hingga airnya mengalir ke sawah warga. Makanya di kampung ini, kebutuhan air untuk menanam padi menjadi tercukupi.

    Kek Usman dan nek Ndun mengkhawatirkan pembukaan lahan sawit akan menyebabkan petani kesulitan mengairi sawahnya. Kekhawatiran mereka disepakati oleh warga yang lain. Puncaknya, warga meminta pertemuan dengan Lurah untuk membahas persoalan ini melalui Geuchik.

    Permintaan warga desa akhirnya dipenuhi. Dengan didampingi Geuchik, Lurah menggelar rapat di balai desa. Turut hadir pada rapat itu adalah tim peneliti dari universitas ternama yang terdiri dari profesor dan staff ahli. Lurah beralasan, tim peneliti dibutuhkan untuk memberikan sudut pandang baru yang sesuai dengan kaidah ilmu.

    Setelah mendengar keluhan warga yang diwakili kek Usman, tim peneliti yang terdiri dari professor dan staf ahli kemudian angkat bicara. Mereka memaparkan bahwa dengan dibukanya lahan sawit akan meningkatkan perekonomian desa, pemuda bisa bekerja, dan desa kami akan maju jadi modern sesuai dengan zaman.

    Profesor dan staf ahli menjelaskan hal itu dalam bentuk angka, grafik, dan istilah-istilah akademik kepada warga yang berbaju kaos dan bercelana bekas lumpur. Di hadapan orang-orang berpakaian rapi, berdasi, dan bersepatu kulit, kek Usman yang hanya mengenakan kaos lusuh tak mampu menanggapi setiap kata yang keluar dari para akademisi intelektual, yang terasa asing.

    Akhirnya pembukaan lahan sawit tak bisa lagi dicegah. Sejak dibukanya lahan sawit, air irigasi di desa berkurang seiring waktu. Sebagian sawah kemudian kering dan mati. Banyak sawah yang kemudian dijual oleh masyarakat desa karena sudah tidak menghasilkan lagi.

    Waktu membuktikan, ternyata setelah dibuka lahan sawit, keadaan tidak seindah grafik, angka, dan istilah-istilah akademik yang disampaikan oleh tim universitas ternama. Pemuda desa yang berharap bekerja di perkebunan secara layak, hanya menjadi buruh kasar saja disana. Hasil sawah yang melimpah, sikap gotong royong, dan kebersamaan warga perlahan terkikis.

    ***

    Aku bangun lebih pagi hari ini, rencananya aku akan ikut ayah ke kantor Geuchik. Aku melihat ayah dari jendela ruang tamu sedang memanaskan sepeda motornya di halaman depan rumah. Hari ini ayah terlihat begitu berbeda, ayah yang biasanya hanya memakai baju kaos dan celana lusuh untuk bertani, kini terlihat mengenakan kemeja lengan panjang dan celana hitam yang sangat jarang dipakainya. Rambut ayah yang biasanya kusut dan tidak beraturan juga tertata dengan rapi hari ini.

    Aku dan ayah akhirnya pergi ke kantor Geuchik dengan menaiki sepeda motor. Sesampainya di kantor Geuchik, ayah memarkirkan sepeda motornya dibawah sebuah pohon ketapang yang rindang.

    Memasuki kantor Geuchik, aku melihat sebuah struktur organisasi pemerintahan desa yang dipajang di sebuah dinding berwarna krem. Selain itu, diatasnya juga dipajang bingkai foto presiden dan wakilnya, lalu diantara kedua bingkai foto itu terdapat sebuah burung garuda yang terlihat sangat gagah. Jendela yang ada di lobi dipasangi tirai berwarna putih yang kontras dengan warna dinding dan memberikan nuansa elegan.

    Kantor Geuchik dipenuhi oleh banyak orang. Kuhitung ada sekitar 19 orang dewasa yang hadir atas ajakan ayah dan teman-temannya untuk mendiskusikan rencana diadakannya lagi tradisi Khanduri Blang. Ayah bersalaman dengan beberapa orang kenalannya yang ada di lobi. Sepuluh menit kemudian, Geuchik datang bersama sekretaris desa dan beberapa pejabat desa lainnya. Sekretaris desa mengarahkan para warga untuk masuk ke dalam ruang rapat. Ayah memintaku untuk menunggunya di lobi sampai urusannya selesai.

    ***

    Sudah cukup lama aku menunggu ayah di lobi seorang diri. Rasa bosanku sudah tidak terbendung lagi, aku memutuskan untuk berjalan-jalan di area luar kantor Geuchik sambil menunggu ayah selesai rapat. Ada diorama di salah satu sisi gedung. Terlihat dari atas, luas lahan sawit nyaris menutupi tanah rawa. Sedang sawah sudah banyak yang terganti dengan rumah-rumah warga pendatang.

    Aku berjalan mengelilingi halaman kantor Geuchik, dan tanpa sadar aku sudah berada di dekat jendela ruang rapat. Karena penasaran, aku mencuri dengar percakapan orang-orang yang ada didalam ruang rapat.

    “Saya tidak setuju dengan hal itu! Seperti yang kita tahu saat ini kondisi keuangan desa sedang krisis! Kalau mau pakai tenda, ya bayar!” ujar seorang pria. Dari suaranya, sepertinya sekretaris desa yang berbicara.

    “Dulu bisa kita selenggarakan secara tanpa biaya, kenapa sekarang tidak? Masa semuanya harus bayar?” seorang wanita mencoba memberikan pendapatnya.

    Sepertinya sedari tadi sudah terjadi perdabatan di antara mereka.

    “Begini pak,” aku mendengar suara ayah.

    “Sudah berkali-kali Khanduri Blang ditunda. Untuk kali ini, biarlah kami, warga mengadakan secara swadaya saja.”

    “Iya pak,” warga lainnya menimpali. “Masa tidak bisa kami pinjam sehari saja tenda. Setelah itu bisa pasang lagi untuk pekerja di perkebunan.”

    Aku tidak berani mendengar percakapan dari dalam ruang rapat lebih lanjut, karena aku takut akan ketahuan. Suasana di dalam ruang rapat sepertinya semakin riuh. Dari beberapa percakapan yang aku dengar, sepertinya rapat tidak menemukan titik temu. Aku kembali ke lobi kantor Geuchik, hingga rapat selesai dan kami pulang.

    ***

    Sebidang tanah yang cukup lapang di dekat areal sawah pada pagi hari itu dipenuhi oleh begitu banyak orang. Para lelaki bergotong-royong menyiapkan dan membersihkan lahan yang akan digunakan sebagai tempat Khanduri Blang. Bagi yang perempuan, mereka disibukkan dengan bahan masakan yang akan diolah menjadi berbagai macam hidangan makanan.

    Untuk memeriahkan perayaan yang sudah lama tidak diadakan, warga menyembelih seekor kambing. Mereka membawa peralatan masak untuk digunakan bersama-sama, seperti belanga besar, talenan, pisau dapur, dan masih banyak lagi. Sudah sangat lama tradisi Khanduri Blang tidak diadakan, sehingga hari ini semua orang di desa begitu bersemangat.

    Dari kejauhan, terlihat nek Ndun datang dengan dibonceng oleh cucunya naik sepeda ontel. Kalau tidak salah, semenjak kek Usman meninggal, nek Ndun sangat jarang terlihat bersama sepeda itu. Barangkali dirinya sering terkenang orang yang dikasihinya jika dekat dengan sepeda yang dulu kerap digunakan bersama-sama. Namun hari ini berbeda, dia terlihat begitu bahagia dan senyumnya sangat sumringah.

    Acara Khanduri Blang dimulai dengan doa yang dipimpin oleh Imam desa. Meski tidak menggunakan tenda, cuaca pada hari itu berawan dan mulai mendung. Selesai doa, kemudian diumumkan kepada warga kapan membajak sawah dan bersama-sama menanam bibit. Setelah itu, barulah acara menyantap makanan dilakukan secara bersama-sama.

    Setelah selesai acara, warga mengemas dan merapikan tempat acara secara bersama-sama. Langit semakin hitam. Rinai hujan mulai terasa menyentuh pipi. Sepertinya sebentar lagi hujan deras akan segera turun. Semua orang sibuk dan aku turut membantu memindahkan barang-barang mereka ke tempat berteduh agar tidak basah terkena air hujan.

    Hujanpun turun sederas-derasnya. Orang-orang berlarian mencari tempat untuk berteduh. Aku melihat nek Ndun berjalan kearah sawah dan berdiri di pinggirnya. Ia menatap ke arah langit dan membentangkan tangannya. Entah apa yang membuatnya seperti itu. Mungkin ada ingatan yang tiba-tiba kembali, dan hujan sangat mungkin menyembunyikan air matanya.

    ***

    Tidak lama setelah Khanduri Blang itu, nek Ndun meninggal dunia. Warga desa mengebumikan nek Ndun di sebuah lahan yang tidak jauh dari desa. Jenazah nek Ndun disemayamkan tepat di sebelah makam suaminya.

    Setelah kepergian nek Ndun, tradisi Khanduri Blang masih tetap dilaksanakan. Warga desa tetap kompak mempertahankan tradisi ini, meskipun tidak mendapat dukungan sepenuhnya dari pejabat desa. Mereka berharap pada suatu hari nanti, ada generasi penerus yang mengembalikan desa menjadi seperti dulu, yang jaya dengan hasil sawahnya.

    Sementara aku, setiap kali melewati rumah nek Ndun dan melihat sepeda ontelnya, aku selalu mengingat hujan di hari itu, yang membawa rasa hangat ke dalam dada.

    S E K I A N


    Ilustrasi : Cut Aura Mirza (Kelas XI IPA 3)



    Comment has been disabled.